Laki-laki Pandai Masak, Kok Disuruh Nikah?

gambar: popmama.com

"Peran perempuan tidak harus selalu di dapur. Begitupun dengan laki-laki, perannya tidak harus selalu berada di luar rumah"

Bulan Ramadhan kali ini benar-benar berbeda dari Ramadhan sebelumnya. Pendemi Corona yang tidak henti-hentinya memakan korban memaksa pemerintah untuk membatasi kegiatan sosial di masyarakat, termasuk kegiatan ibadah di masjid.

Ramadhan yang biasanya ditandai dengan bedug anak-anak kompleks yang keliling membangunkan warga, kini tak lagi terdengar saat menjelang sahur tiba.

Ibadah Taraweh yang setiap malam dilakukan secara berjamaah di masjid pun kini ditiadakan, kendati ada juga yang masih ngeyel melaksanakannya, bahkan sampai rela memanjat pagar masjid yang telah ditutup.

Penjual takjil yang biasa menjajakan aneka jajanan menu buka puasa dipinggir jalan juga tak seramai Ramadhan sebelumnya. Hanya beberapa diantara mereka yang masih bertahan untuk menyambung hidup di tengah pandemi ini.

Alhasil, saya kena dampaknya juga. Sebagai seorang bujangan yang jauh dari keluarga, merantau mengadu nasib di negeri seberang, terpaksa harus menyediakan menu sahur dan buka puasa sendiri.

Beruntung saya masih ingat resep-resep dari hasil mengintip kekuatan Ibu di dapur. Sejak kecil saya memang telah diajar memasak. Mulai dari mengulek sambel, memotong sayur, sampai mengolah makanan menjadi menu ala restoran.

Setiap menjelang sahur dan berbuka tiba, saya mulai memasak di dapur. Untuk menghilangkan kegabutan, saya mengunggah kegiatan itu di sosial media. Niatnya untuk mengedukasi teman-teman di rumah bahwa memasak itu adalah pekerjaan yang mudah dan sederhana. Biar nggak dikira Riya’.

Memasuki hari ke-6, konten yang saya bagikan mendapat beragam komentar dari nitizen. Ada yang mengapresiasi tampilan masakannya, adapula yang psimis dengan rasanya. Meskipun kenyatannya adalah yang terakhir disebutkan.

Namun, ada beberapa diantara komentar mereka juga yang justru membuat saya menjadi bingung. Mereka mengomentari bukan karena tampilan atau soal rasa masakan yang saya buat, tapi mereka malah menyuruh saya untuk menikah. Jlebbb banget dihati ~

Sebentar… sebentar… Mari kita telaah terlebih dahulu. Disini ada dua premis, yang pertama, saya sedang memasak, dan yang kedua, saya disuruh menikah.


Kedua premis ini benar-benar membuat tidur saya nggak nyenyak memikirkannya. Bahkan saya nggak habis pikir, dari mana korelasi kedua premis tersebut. Laki-laki pandai memasak, kok di suruh nikah?

Ternyata setelah saya berdiskusi dengan kawan saya, Ia menjelaskan bahwa seperti itulah konteks budaya hari ini yang berkembang di Indonesia. Budaya patriarki yang masih sangat melekat di tengah-tengah masyarakat kita.

Acapkali kita mendengar pendapat di masyarakat “Peran memasak hanya boleh dilakukan oleh perempuan, dan ketika ada seorang laki-laki yang mengambil peran itu, maka akan terlihat aneh”

Pendapat seperti ini justru akan melanggengkan budaya patriarki. 
Peran perempuan hanya akan terlihat bernilai jika Ia mengerjakan aktivitas di dapur, sumur, dan kasur. Ia akan selalu tersubordinasi dan terus menjadi second class dalam masyarakat.  

Lain halnya dengan laki-laki, perannya mesti selalu di luar rumah. Ia lebih bebas mengembangkan pengetahuan dan pengalamannya di luar sana. Berinteraksi dan menjalin komunikasi dengan siapa saja yang Ia temui.

Kendati demikian, pengkotak-kotakan peran di dalam masyarakat ini justru akan menimbulkan dampak diantara keduanya. Seperti contohnya, saya yang pandai memasak, malah dianggap aneh dan disuruh menikah.

Kegiatan memasak hanyalah kegiatan mengolah bahan makanan untuk dikonsumsi agar dapat bertahan hidup. Kegiatan ini tidak ada korelasinya sama sekali dengan menyuruh orang untuk menikah.

Laki-laki ataupun perempuan boleh melakukannya. Bahkan tidak sedikit pekerjaan tersebut sudah banyak digeluti oleh laki-laki secara profesional, sebut saja Chef Juna dan Chef Arnold.

Mereka tampil dipublik bukan ingin menebar pesona dan karisma seorang lelaki, tetapi pesan yang mesti kita tangkap adalah peran perempuan tidak harus selalu di dapur. Begitupun dengan laki-laki, perannya tidak harus selalu berada di luar rumah.

Naahh ~ daripada nyuruh nikah, kenapa nggak nyuruh mereka yang pandai masak buka warung aja??? Kan lumayan bisa makan pakai “harga sahabat”. Wkwk~


Oleh: Chef Sekolah

Komentar

Popular Posts

Metode Etnografi Dalam Institusi Sosial

Penyusunan RPP 1 Lembar

Individu Kelompok dan Hubungan Sosial